Minggu, 02 Agustus 2015

Taare Zameen Par


Mungkin sebagian besar dari anda belum banyak yang tahu apa sih judul yang saya tulis ini? Itu adalah judul film India garapan Amiir Khan yang menjadi salah satu film favourite saya setelah Three Idiots, tahu kan? Itu loh… film inspirasional yang berkisah tentang passion yang pemeran utamanya pun Amiir Khan. Kalau tidak salah diproduksi tahun 2009. Quotes yang membuat saya senyum sambil manggut-manggut diawal-awal film berputar kala menontonnya dulu kurang lebih isinya begini, “Ever since we were young, we believed that life was a race. If we didn’t run fast enough, we would be trampled and overtaken. Man, even to be born, we had to race 300 million sperm” dan satu lagi yang menohok, “Never study to be successful. Don’t run behind success. Follow behind excellence, success will come all way behind you.”


Three Idiots


Yep. Amiir Khan memang ciamik dalam menyuguhkan film-film yang tematik dan inspirasional. Menurut saya, Amiir Khan adalah sosok visioner dan berpikiran terbuka. Filmnya bukan sekedar film yang sarat hiburan melainkan benar-benar film yang membuka wawasan dan mencerdaskan. Dia punya misi dan visi yang kuat dalam berkarya.

Apa menariknya dari film Taare Zameen Par ini? Jelas. Belum nonton saja saya sudah tertarik. Bagaimana tidak? Yang merekomendasikan film ini pada saya adalah ibu Nila, psikolog anak yang merupakan salah satu timnya Ayah Eddy. Menurutnya, film ini sangat pas mewakili kisah anak-anak yang otak kanannya lebih dominan, seperti Bob anak saya.

Nah, benar saja. Film itu benar-benar sukses memberi tamparan keras pada kedua pipi mulus saya yang bebas jerawat ini. Bukan hanya itu, hati saya terasa tergugah dan dipenuhi rasa bersalah mengingat bagaimana selama ini saya sudah salah menyikapi semua ‘keanehan’ Bob dalam proses belajarnya, terutama yang bersangkutan dengan membaca juga menulis. Pokoknya tokoh utamanya benar-benar mewakili Bob, persis sekali… bedanya Bob lebih gantenglah… wehehehehe !

Kemunculan Amiir Khan sebagai guru dalam film itu membuat saya tambah gemes greget-greget gimanaaa gitu. Bukan hanya karena tampang dan bodinya yang kinyis-kinyis… Tidak. Bukan. Serius. Melainkan karena caranya mengajar yang sangat menyentuh. Begitu pengertian, memahami, mendekati, dan memberi solusi. Amiir Khan seolah hanya mengajak anak-anak bermain tanpa anak-anak itu sendiri menyadari kalau mereka sesungguhnya sedang belajar. Bukan seperti guru pada umumnya yang hanya menggiring anak pada tuntutan kurikulum saja dengan metode pengajaran yang monoton dan membosankan.

Hari gini, dimana sih kita temukan guru (terutama pada sekolah negeri pada umumnya yang notabene ‘gratisan’) yang benar-benar bisa bikin anak fun? Yang ada membuat kebanyakan anak malah stres, capek, dan pengen cepat pulang dan menjauh dari sekolah secepatnya. Saya berkhayal, seandainya Indonesia memiliki banyak guru semacam Amiir Khan dalam film ini. Sumpah demi Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana, saya yakin Indonesia akan jadi bangsa yang besar… sebesar jagat raya ini ! Oh, Indonesia-ku yang dipenuhi bibit unggul ini butuh sekali banyak guru !! Guru yang benar-benar bisa di ‘gugu’ lan ‘di ‘tiru’. Ingat kan, bagaimana Jepang dulu bangkit pasca bom Nagasaki dan Hiroshima? Yep. Mereka merasa butuh banyak guru untuk mengajar sebagai investasi guna membangun negeri. Nah, selain kerja keras, Kualitas Guru dan Pendidikan loh modalnya Jepang untuk bangkit dari keterpurukan. Terbukti kan negeri itu benar-benar BANGUN dan menjadi Macan Asia sampai sampai sekarang, bahkan dunia.

Masalah kita pun bukan hanya sekedar pada cara mengajar guru-guru pada umumnya, tapi juga tuntutan KURIKULUM itu sendiri yang mungkin sudah ribet untuk ukuran anak-anak SD terutama bagi mereka yang masih berumur kurang dari sepuluh tahun. Calistung (membaca – menulis- berhitung) bahkan sudah ditekankan sejak anak baru masuk TK. Sepertinya ‘sengsara’ sekali mereka yang masih belum mampu calistung begitu mulai masuk SD, terseok-seok mengikuti pelajaran yang makin lebay saja tingkat kesulitannya. Saya saja pening membaca-baca soal LKS Bob yang masih kelas satu dulu. Kalimat soal terlalu kompleks untuk ukuran anak kelas satu dan dua SD. Nah, membaca saja ia masih terseok-seok. Duuh Gustiii. Sekarang kelas dua pun tidak jauh beda. Dan keluhan saya ini pun ditanggapi sama oleh kebanyakan orangtua murid yang lain. Oh, negeriku…

Baiklah, mungkin anda penasaran memangnya seperti apa sih film ini? Saya ceritakan sedikit ya…

Every child is special
Film ini mengisahkan tentang seorang anak yang bernama Ihsaan yang otak kanannya lebih dominan. Ihsaan memiliki kecerdasan visual, spasial, dan kinestetik yang menonjol. Sementara ia bersekolah di SD yang kurikulumnya lebih cocok untuk anak auditori, persis seperti yang berjalan di SD Negeri di Indonesia juga. Nah, apa yang terjadi? Tentu saja Ihsaan ini kewalahan mengikuti pelajaran. Nilainya jadi ‘ancur-ancuran’. Ia terlihat sering melamun dan gagal fokus. Padahal sebenarnya ia sedang berimajinasi. Maklum, namanya saja anak visual. Sedihnya lagi, bukannya mencoba memahami dan mencari tahu masalah muridnya, gurunya justru kerap memarahi dan sering mengeluarkan anak ini dari kelasnya karena dianggap ‘mengganggu’ dan tidak pernah memperhatikan pelajarannya.
Masalah semakin pelik ketika si anak ini memiliki seorang kakak yang otak kirinya lebih dominan. Prestasi akademiknya sangat cemerlang. Berbanding terbalik dengan adiknya ini yang menulis dan membaca saja masih tidak becus. Kerjaannya menggambar dan menggambar terus tapi menulis huruf dan angka saja masih sering terbalik-balik padahal sudah kelas tiga SD. Orangtua mereka pun selalu membandingkan keduanya. Nah, menjengkelkan bukan? Tapi si anak ini cuek saja. Lagi-lagi mengingatkan saya pada sikap cueknya Bob yang pernah membawa hasil ulangannya pulang dan dengan bangganya bilang pada saya, “Mama, lihat nih… Bob dapat nilai Nol. Bentuknya seperti telur ayam ya, Ma? Kalau diberi mata, hidung, dan mulut jadi seperti wajah donk…” ujarnya tanpa dosa sambil menyodorkan kertas itu pada saya. Huh. Entahlah, Bob ini punya bakat melawak atau bagaimana… Yang jelas bukannya tertawa tapi saya malah histeris begitu menerima ‘kertas neraka’ itu …. Huaaaa !!! Duhh… Gustiiii Pangeraaan… Kulo nyuwon pangapuro…
Eh, kembali lagi ke film ini… Saking geramnya dengan perkembangan pendidikan anaknya yang tidak sedikitpun mengalami ‘kemajuan’ maka ayah si anak pun memindahkan anaknya ke sekolah lain yang menurutnya lebih ‘keras’ agar anaknya ini bisa fokus sekolah dan belajar. Sialnya sekolah ini mewajibkan muridnya masuk asrama. Nah, drama dimulai… Tissue saya berserakan dimana-mana… Huaaa sediiih ! Tidak tega melihat betapa hancurnya perasaan si anak yang merasa dicampakkan oleh orangtuanya sendiri hanya gara-gara ia tidak bisa ‘sama’ dan tidak ‘pintar’ seperti kakaknya. Orangtuanya tidak pernah tahu betapa anaknya memiliki kecerdasan lain yang tidak sama dengan anak sulungnya… Kecerdasan yang tak kalah membanggakan seperti kakaknya kalau saja orangtuanya bisa memahami dan menggalinya.
 

Ishaan
 
Yeah, ada sembilan jenis kecerdasan (multiple intelligency). Tidak semua anak punya jenis kecerdasan yang sama. Tentunya butuh cara belajar yang berbeda-beda dalam upaya mengasah masing-masing kecerdasan itu. Ibarat olahraga. Punya banyak cabang. Atlet renang mungkin akan tampak bodoh kalau ditempatkan di arena sepakbola. Dan atlet bola volley mungkin akan keok kalau ditempatkan di arena sepak takraw. Yeh, atlet-atlet itu hanya butuh arena yang tepat sesuai bidang dan bakatnya bukan? Dan seperti itulah gambaran pendidikan kita… Kurikulum yang ada mungkin cocok bagi mereka yang otak kirinya dominan. Sementara anak-anak yang otak kanannya lebih dominan dan semakin ekstrim, mungkin akan tampak aneh, konyol, dan terbengkalai. Sedihnya mereka pun dicap ‘bodoh’ dan tidak akan pernah dapat ranking di sekolah.
Huft, pokoknya film ini bukan hanya menyentil pendidikan dasar di India saja tapi saya rasa di Indonesia juga, persis. Selain menyentil dunia pendidikannya, film ini pun turut menjewer para orangtua yang kolot dalam mendidik anak-anaknya.  Dan sialnya saya termasuk salah satu orangtua yang ‘kolot’ itu… haha bahkan setelah menonton film itu pun kekolotan saya pun belum juga bisa hilang sepenuhnya. *jedotin tembok* Tapi setidaknya, saya mulai sadar dan pelan-pelan mulai mengubah gaya belajar yang selama ini salah tapi terus saya paksakan pada Bob.
Sebenarnya ada sekolah swasta yang kurikulumnya pro dengan anak-anak dominan otak kanan dan menyesuaikan dengan multiple intellegency, seperti sekolah Ayah Eddy. Sayangnya letaknya terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Sekolah swasta lainnya juga ada, sayangnya biayanya tak terjangkau kocek saya hehehe. Yeah, akhirnya tetap saya yang harus pandai-pandai beradaptasi dengan sekolah negeri tempat anak saya belajar. Kuncinya adalah menjaga komunikasi yang baik dengan gurunya. Sejauh ini tidak mengecewakan. Bahkan surprise sekali karena ternyata gurunya Bob pun sering membaca buku-buku Ayah Eddy. Setelah sering berkomunikasi, wali kelasnya bias memahami Bob dan lebih telaten menghadapinya di sekolah. Semoga saja akan lebih banyak lagi para pendidik juga orangtua yang gemar membaca buku Ayah Eddy atau buku apapun yang sejenis yang membuat kita menyadari bahwa setiap anak itu spesial.
Eh, masih penasaran dengan kelanjutan film ini? Tonton donk ^_^


Jumat, 06 Februari 2015

Galau Pasti Berlalu



Sering sih mendengar kalau rindu itu perih, tapi aku gak pernah nyangka kalau bisa sampai seperih ini. Rindu itu obatnya ketemu, atau pasrahkan saja pada sang waktu. Hahaha menyedihkan.
Jadi inget penggalan lagu bang Haji Rhoma Irama , “Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga…”. Tepat. Persis seperti yang kurasakan.
Bapak meninggalkan aku selama-lamanya pada tanggal 6 November 2013 tanpa permisi akibat serangan stroke yang tiba-tiba dan dalam waktu 1x24 jam segera mengantarkannya ke dunia lain. Penyesalan menghujam jantungku karena tak sempat menjenguknya, terlebih telat menghadiri upacara pemakaman terakhirnya akibat jarak tempuh perjalanan yang cukup jauh. Keluarga sepakat untuk melanjutkan prosesi tanpa menunggu semua anaknya berkumpul lebih dulu, makin cepat dimakamkan makin baik, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamaku, Islam.
Ibu merangkulku yang segera histeris di depan gundukan tanah yang mengubur jasad bapak di dalam sana. Jemariku mencakari tanah, mencari-cari sesuatu yang hilang dan yang tak  mungkin kutemukan kembali. Entahlah,  medadak diriku merasa rapuh dan menjelma menjadi manusia paling lemah tanpanya.
Hubungan kami memang erat, melebihi hubunganku dengan ibu. Dalam beberapa situasi, ada kalanya aku merasa jadi wasit di tengah-tengah mereka. Katakanlah, hubungan mereka memang renggang belakangan itu.
Sejak suami memboyongku ke kota lain, aku dan bapak tak pernah absen untuk saling telpon sekedar menanyakan kabar. Rasanya kami bisa saling memahami satu sama lain hanya dengan mengeluarkan kosa kata yang seperlunya. Biasanya, selain pada Allah, bapak tempatku mengadu atas apapun masalahku. Dan seperti biasa, selalu ada solusi yang terdengar paling masuk akal darinya yang paling mungkin bisa kuterapkan. Tak mungkin kudapatkan solusi macam itu dari ibu. Mereka bertolak belakang. Akhirnya aku bisa memahami mengapa mereka lebih akur kalau hidup terpisah.
Ibu berusaha meredakan pedihku dengan sentuhannya. Berkali-kali ibu mengusap bahu dan mencengkeram pundakku dengan jarinya yang mungil namun kuat, sekuat tekadnya untuk melanjutkan hidup dengan atau tanpa bapak.
“Masih ada ibu…” Bisiknya pura-pura tegar. “Kalau kau rapuh, bagaimana dengan yang lain?” Ibu menunjuk ketiga adikku yang turut  banjir air mata dengan lirikan matanya yang lelah.
Baiklah, ‘Masih ada ibu.’
Dan ibu memang benar-benar perkasa menjalani fungsinya sebagai orangtua tunggal, terutama bagi ketiga adikku. Bahkan menurutku perannya dalam menjaga adik-adikku terlalu berlebihan. “Bu, itu namanya bukan sayang. Tapi memanjakan.” Protesku suatu ketika. Aku tidak suka ibu selalu menuruti apapun yang diminta anaknya, meskipun itu diluar kemampuannya. Ibu berjuang keras demi memenuhi kebutuhan mereka hingga mengabaikan kesehatannya sendiri.
Awalnya ibu sering mengeluh nyeri setiap kali buang air kecil, “Seperti disilet,” ujarnya sambil meringis. “Kata dokter batu ginjal…” katanya tanpa menimbulkan kecurigaan dariku lebih lanjut. Namun ibu tak kunjung sembuh biarpun sudah berapa puluh kali menelan berbagai obat yang berhubungan dengan batu ginjal, entah berdasarkan resep dokter maupun yang tidak. Semakin lama ia semakin sering mengeluhkan sakit yang sama. Sampai suatu ketika ibu menelponku, “Ibu kena kanker…” namun tak terdengar nada khawatir dalam suaranya yang membuat jantungku ciut. Suaranya terdengar tetap keras, setegar batu karang.
Aku marah-marah padanya ketika uang yang seharusnya digunakan untuk operasi justru digunakan untuk membayar kuliah adik-adikku dulu. Apa-apaan sih? Kesehatan itu nomor satu ! Tapi ibu tak bergeming. “Sudahlah, ibu gak apa-apa. Nanti kalau semuanya sudah beres – maksudnya urusan kuliah adik-adik-  ibu akan lanjutkan pengobatan.” Ujarnya santai, benar-benar santai… Seolah yang dihadapinya itu cuma pilek.
Dan semuanya berlalu begitu cepat…
Selang dua minggu setelah ulang tahun ibu yang ke-55 tahun, tepatnya pada tanggal 19 Desember 2014 lagi-lagi aku ditampar kenyataan pahit, sepahit empedu... Kanker kandung kemih sialan itu merenggut satu-satunya orangtua kandung kami yang tersisa, ibuku meninggal.
“Tolong jaga adik-adik… ” masih terngiang jelas kata-kata itu ketika kami duduk berdua di sebuah ruang perawatan rumah sakit sebelum dia menjalani operasinya yang terakhir.
“Mereka laki-laki, calon kepala keluarga. Mereka harus punya kail untuk mencari ikannya sendiri kelak.” Ibu meraih satu tanganku, meminta dukungan. “Kuliah…” Ia menggenggam tanganku. “Mereka harus selesai kuliahnya. Kamu yang perempuan saja kuliah, masa mereka nggak?” Ibu menatapku penuh tekad, matanya mencari-cari jawab yang tergantung di udara. Kemudian ia tersenyum, “Ibu akan sembuh…” ujarnya datar seraya melemparkan pandangan ke arah lain, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri dan tak ada diriku disana. Ia tak mampu menatap mataku…
“Ibu belum mau mati. Ibu masih ingin mengurusi adik-adik !” Tegasnya lagi yang seketika membuat hatiku bergetar hebat.
Ibu bukannya tidak tahu kalau ia tengah menghadapi kanker stadium lanjut. Sebenarnya sudah terlambat untuk operasi. Pendarahan hebat sempat melanda saat operasi besar pertamanya yang  berlangsung sejak jam 8 pagi hingga jam 6 sore sekitar bulan April 2014 lalu di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Namun mukjizat Allah datang melalui keahlian dokter specialis onkologi terbaik se- Asia Tenggara - info ini kuperoleh dari dokter spesialis yang sebelumnya menangani ibu juga - yang memimpin jalannya operasi. Ibu berhasil melewati masa kritis itu dan keluar dari jebakan maut pertamanya.
“Ibu luar biasa…” Puji dokter dengan tatapan tulus memandangi ibuku yang terkulai lemah. Menurut penuturannya pada kakakku, biasanya pasien dengan kondisi seperti ibu – kanker memasuki stadium akhir - hanya mampu bertahan sampai operasi yang ketiga. Tapi ibu bisa enam kali menjalaninya penuh semangat. “Sembuh atau tidaknya kan tergantung dari motivasi pasien sendiri.” Si dokter menolak kalau keberhasilan semua operasi yang dapat memperpanjang kesempatan hidup ibu itu karena keahliannya.”Ibunya yang hebat, kok…” sekali lagi ia merendah.
 Yah, ibu bertahan karena ia selalu menggenggam harapannya yang agung, menyelesaikan kuliah anak-anak demi bekal masa depan mereka selanjutnya.
“Ibu masih ingin mengurusi adik-adik…” erangnya terakhir kali sambil meronta-ronta menolak operasi yang harus dilakukan lagi untuk ke-7 kalinya akibat  tumor ganas (kanker) kembali menyumbati saluran kencingnya hingga tubuhnya membengkak disana sini. Lalu ibu terisak ketika kuraih tubuh lemahnya dalam pelukanku, seraya bibirku mengalirkan beribu doa untuknya dengan nada bergetar.
Itulah air mata yang untuk pertama kalinya kulihat selama ia menjalani semua proses pengobatannya. Itulah kali pertama jemariku mengusapi pipinya - yang nyaris tinggal tulang - yang sembab air mata. Itulah pertama kalinya ikatan emosi kami tersimpul kian erat. Betapa indah kurasakan pelukan itu. Aku tak pernah bisa melupakannya. Aku masih merasakannya dan terus membuatku merindu. Bahkan tak pernah kusangka, merindunya bisa terasa seperih ini…
Aku baru tiga kali melihatnya menangis seumur hidupku. Pertama, pertengkaran hebat dengan ibunya bapakku, kedua pada saat pertengkaran hebat dengan bapak. Dan yang terakhir, sekarang, dengan penyakitnya sendiri…
Tapi kemudian aku sadar, dia bukan sedang menangisi penyakitnya… Ibu marah sekaligus kesal, ia tak pernah menyerah tapi mengapa ia harus kalah? Kanker itu menghancurkan asanya berkeping-keping. Ia harus menelan kenyataan pahit, waktunya hampir habis. Ia gagal memenuhi janjinya, menuntaskan pendidikan ketiga anaknya, adik-adikku.
Bibirku masih bisa merasakan kecupan terakhirku di keningnya yang sedingin es. Kubendung air mataku agar tidak tumpah saat momen yang akan kukenang seumur hidup itu tengah berlangsung. Aku tak ingin menyakitinya dengan tetesan air mataku di kulitnya yang pucat. Kukecup perlahan kelopak matanya yang tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya…
Mataku nanar memandangi dua nisan yang bertuliskan nama bapak dan ibu.
Inilah akhirnya, mereka bersanding damai dan tak akan pernah tercerai berai lagi selamanya di peristirahatan mereka yang terakhir.
Dua orang yang kucintai, yang tak sempat kubahagiakan pada masa hidupnya. ..
Dua orang yang meninggalkan seribu satu cerita yang tak kunjung usai…
Entahlah, aku tak peduli pada cerita hidup mereka. Yang kupedulikan hanyalah mereka orangtuaku. Tugasku hanyalah mencintainya dalam setiap doaku. Mungkin tak akan ada orangtua yang ideal, tapi MAAF dan DOA pasti dapat menyempurnakannya. 

..........
 
Ya Allah, berikanlah tempat yang terbaik bagi mereka dan ampunilah dosa-dosanya. 
Ya Allah, berikanlah ketegaran pada kami untuk terus melanjutkan hidup di jalan yang benar. 
Ya Allah, berikanlah kesabaran dan keikhlasan pada kami dalam menghadapi semua perubahan yang terjadi sejak ketiadaan mereka.
Ya Allah, bukalah seluas-luasnya pintu rejeki-Mu bagi para yatim piatu yang ditinggalkan. 

.......... 

Don’t worry Mom… Everythings gonna be ok.