Mungkin sebagian besar dari anda
belum banyak yang tahu apa sih judul yang saya tulis ini? Itu adalah judul film
India garapan Amiir Khan yang menjadi salah satu film favourite saya setelah
Three Idiots, tahu kan? Itu loh… film inspirasional yang berkisah tentang
passion yang pemeran utamanya pun Amiir Khan. Kalau tidak salah diproduksi
tahun 2009. Quotes yang membuat saya senyum sambil manggut-manggut diawal-awal
film berputar kala menontonnya dulu kurang lebih isinya begini, “Ever since we
were young, we believed that life was a race. If we didn’t run fast enough, we
would be trampled and overtaken. Man, even to be born, we had to race 300
million sperm” dan satu lagi yang menohok, “Never study to be successful. Don’t
run behind success. Follow behind excellence, success will come all way behind
you.”
Three Idiots
Yep. Amiir Khan memang ciamik dalam
menyuguhkan film-film yang tematik dan inspirasional. Menurut saya, Amiir Khan adalah
sosok visioner dan berpikiran terbuka. Filmnya bukan sekedar film yang sarat
hiburan melainkan benar-benar film yang membuka wawasan dan mencerdaskan. Dia punya
misi dan visi yang kuat dalam berkarya.
Apa menariknya dari film Taare
Zameen Par ini? Jelas. Belum nonton saja saya sudah tertarik. Bagaimana tidak?
Yang merekomendasikan film ini pada saya adalah ibu Nila, psikolog anak yang
merupakan salah satu timnya Ayah Eddy. Menurutnya, film ini sangat pas mewakili
kisah anak-anak yang otak kanannya lebih dominan, seperti Bob anak saya.
Nah, benar saja. Film itu
benar-benar sukses memberi tamparan keras pada kedua pipi mulus saya yang bebas
jerawat ini. Bukan hanya itu, hati saya terasa tergugah dan dipenuhi rasa
bersalah mengingat bagaimana selama ini saya sudah salah menyikapi semua ‘keanehan’
Bob dalam proses belajarnya, terutama yang bersangkutan dengan membaca juga
menulis. Pokoknya tokoh utamanya benar-benar mewakili Bob, persis sekali…
bedanya Bob lebih gantenglah… wehehehehe !
Kemunculan Amiir Khan sebagai guru
dalam film itu membuat saya tambah gemes greget-greget gimanaaa gitu. Bukan
hanya karena tampang dan bodinya yang kinyis-kinyis… Tidak. Bukan. Serius. Melainkan
karena caranya mengajar yang sangat menyentuh. Begitu pengertian, memahami, mendekati,
dan memberi solusi. Amiir Khan seolah hanya mengajak anak-anak bermain tanpa anak-anak
itu sendiri menyadari kalau mereka sesungguhnya sedang belajar. Bukan seperti
guru pada umumnya yang hanya menggiring anak pada tuntutan kurikulum saja
dengan metode pengajaran yang monoton dan membosankan.
Hari gini, dimana sih kita temukan
guru (terutama pada sekolah negeri pada umumnya yang notabene ‘gratisan’) yang
benar-benar bisa bikin anak fun? Yang ada membuat kebanyakan anak malah stres,
capek, dan pengen cepat pulang dan menjauh dari sekolah secepatnya. Saya berkhayal,
seandainya Indonesia memiliki banyak guru semacam Amiir Khan dalam film ini.
Sumpah demi Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana, saya yakin Indonesia akan jadi
bangsa yang besar… sebesar jagat raya ini ! Oh, Indonesia-ku yang dipenuhi
bibit unggul ini butuh sekali banyak guru !! Guru yang benar-benar bisa di ‘gugu’
lan ‘di ‘tiru’. Ingat kan, bagaimana Jepang dulu bangkit pasca bom Nagasaki dan
Hiroshima? Yep. Mereka merasa butuh banyak guru untuk mengajar sebagai
investasi guna membangun negeri. Nah, selain kerja keras, Kualitas Guru dan Pendidikan
loh modalnya Jepang untuk bangkit dari keterpurukan. Terbukti kan negeri itu
benar-benar BANGUN dan menjadi Macan Asia sampai sampai sekarang, bahkan dunia.
Masalah kita pun bukan hanya sekedar
pada cara mengajar guru-guru pada umumnya, tapi juga tuntutan KURIKULUM itu
sendiri yang mungkin sudah ribet untuk ukuran anak-anak SD terutama bagi mereka
yang masih berumur kurang dari sepuluh tahun. Calistung (membaca – menulis-
berhitung) bahkan sudah ditekankan sejak anak baru masuk TK. Sepertinya ‘sengsara’
sekali mereka yang masih belum mampu calistung begitu mulai masuk SD,
terseok-seok mengikuti pelajaran yang makin lebay saja tingkat kesulitannya. Saya saja pening membaca-baca soal LKS Bob yang masih kelas satu dulu. Kalimat soal terlalu kompleks untuk ukuran anak kelas satu dan dua SD. Nah, membaca saja ia masih terseok-seok. Duuh Gustiii. Sekarang kelas dua pun tidak jauh beda. Dan keluhan saya ini pun ditanggapi sama oleh kebanyakan orangtua murid yang lain. Oh, negeriku…
Baiklah, mungkin anda penasaran memangnya
seperti apa sih film ini? Saya ceritakan sedikit ya…
Every child is special
Film ini mengisahkan tentang seorang
anak yang bernama Ihsaan yang otak kanannya lebih dominan. Ihsaan memiliki kecerdasan visual, spasial, dan
kinestetik yang menonjol. Sementara ia bersekolah di SD yang kurikulumnya
lebih cocok untuk anak auditori, persis seperti yang berjalan di SD Negeri di
Indonesia juga. Nah, apa yang terjadi? Tentu saja Ihsaan ini kewalahan
mengikuti pelajaran. Nilainya jadi ‘ancur-ancuran’. Ia terlihat sering melamun
dan gagal fokus. Padahal sebenarnya ia sedang berimajinasi. Maklum, namanya
saja anak visual. Sedihnya lagi, bukannya mencoba memahami dan mencari tahu
masalah muridnya, gurunya justru kerap memarahi dan sering mengeluarkan anak
ini dari kelasnya karena dianggap ‘mengganggu’ dan tidak pernah memperhatikan
pelajarannya.
Masalah semakin pelik ketika si anak
ini memiliki seorang kakak yang otak kirinya lebih dominan. Prestasi akademiknya
sangat cemerlang. Berbanding terbalik dengan adiknya ini yang menulis dan
membaca saja masih tidak becus. Kerjaannya menggambar dan menggambar terus tapi
menulis huruf dan angka saja masih sering terbalik-balik padahal sudah kelas
tiga SD. Orangtua mereka pun selalu membandingkan keduanya. Nah, menjengkelkan
bukan? Tapi si anak ini cuek saja. Lagi-lagi mengingatkan saya pada sikap
cueknya Bob yang pernah membawa hasil ulangannya pulang dan dengan bangganya
bilang pada saya, “Mama, lihat nih… Bob dapat nilai Nol. Bentuknya seperti
telur ayam ya, Ma? Kalau diberi mata, hidung, dan mulut jadi seperti wajah donk…”
ujarnya tanpa dosa sambil menyodorkan kertas itu pada saya. Huh. Entahlah, Bob
ini punya bakat melawak atau bagaimana… Yang jelas bukannya tertawa tapi saya
malah histeris begitu menerima ‘kertas neraka’ itu …. Huaaaa !!! Duhh… Gustiiii
Pangeraaan… Kulo nyuwon pangapuro…
Eh, kembali lagi ke film ini… Saking
geramnya dengan perkembangan pendidikan anaknya yang tidak sedikitpun mengalami
‘kemajuan’ maka ayah si anak pun memindahkan anaknya ke sekolah lain yang
menurutnya lebih ‘keras’ agar anaknya ini bisa fokus sekolah dan belajar.
Sialnya sekolah ini mewajibkan muridnya masuk asrama. Nah, drama dimulai…
Tissue saya berserakan dimana-mana… Huaaa sediiih ! Tidak tega melihat betapa
hancurnya perasaan si anak yang merasa dicampakkan oleh orangtuanya sendiri
hanya gara-gara ia tidak bisa ‘sama’ dan tidak ‘pintar’ seperti kakaknya. Orangtuanya
tidak pernah tahu betapa anaknya memiliki kecerdasan lain yang tidak sama dengan
anak sulungnya… Kecerdasan yang tak kalah membanggakan seperti kakaknya kalau
saja orangtuanya bisa memahami dan menggalinya.
Ishaan
Yeah, ada sembilan jenis kecerdasan
(multiple intelligency). Tidak semua anak punya jenis kecerdasan yang sama. Tentunya
butuh cara belajar yang berbeda-beda dalam upaya mengasah masing-masing kecerdasan
itu. Ibarat olahraga. Punya banyak cabang. Atlet renang mungkin akan tampak bodoh
kalau ditempatkan di arena sepakbola. Dan atlet bola volley mungkin akan keok
kalau ditempatkan di arena sepak takraw. Yeh, atlet-atlet itu hanya butuh arena
yang tepat sesuai bidang dan bakatnya bukan? Dan seperti itulah gambaran
pendidikan kita… Kurikulum yang ada mungkin cocok bagi mereka yang otak kirinya
dominan. Sementara anak-anak yang otak kanannya lebih dominan dan semakin
ekstrim, mungkin akan tampak aneh, konyol, dan terbengkalai. Sedihnya mereka
pun dicap ‘bodoh’ dan tidak akan pernah dapat ranking di sekolah.
Huft, pokoknya film ini bukan hanya
menyentil pendidikan dasar di India saja tapi saya rasa di Indonesia juga,
persis. Selain menyentil dunia pendidikannya, film ini pun turut menjewer para
orangtua yang kolot dalam mendidik anak-anaknya. Dan sialnya saya termasuk salah satu orangtua
yang ‘kolot’ itu… haha bahkan setelah menonton film itu pun kekolotan saya pun
belum juga bisa hilang sepenuhnya. *jedotin tembok* Tapi setidaknya, saya mulai
sadar dan pelan-pelan mulai mengubah gaya belajar yang selama ini salah tapi
terus saya paksakan pada Bob.
Sebenarnya ada sekolah swasta yang
kurikulumnya pro dengan anak-anak dominan otak kanan dan menyesuaikan dengan multiple
intellegency, seperti sekolah Ayah Eddy. Sayangnya letaknya terlalu jauh dari
tempat tinggal saya. Sekolah swasta lainnya juga ada, sayangnya biayanya tak
terjangkau kocek saya hehehe. Yeah, akhirnya tetap saya yang harus
pandai-pandai beradaptasi dengan sekolah negeri tempat anak saya belajar. Kuncinya adalah menjaga komunikasi yang baik dengan gurunya. Sejauh ini
tidak mengecewakan. Bahkan surprise sekali karena ternyata gurunya Bob pun
sering membaca buku-buku Ayah Eddy. Setelah sering berkomunikasi, wali kelasnya bias memahami Bob dan lebih telaten menghadapinya di sekolah. Semoga saja akan lebih banyak lagi
para pendidik juga orangtua yang gemar membaca buku Ayah Eddy atau buku apapun
yang sejenis yang membuat kita menyadari bahwa setiap anak itu spesial.
Eh, masih penasaran dengan kelanjutan
film ini? Tonton donk ^_^