Sering sih mendengar kalau rindu itu perih,
tapi aku gak pernah nyangka kalau bisa sampai seperih ini. Rindu itu obatnya
ketemu, atau pasrahkan saja pada sang waktu. Hahaha menyedihkan.
Jadi inget penggalan lagu bang Haji Rhoma Irama
, “Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga…”. Tepat.
Persis seperti yang kurasakan.
Bapak meninggalkan aku selama-lamanya pada
tanggal 6 November 2013 tanpa permisi akibat serangan stroke yang tiba-tiba dan
dalam waktu 1x24 jam segera mengantarkannya ke dunia lain. Penyesalan menghujam
jantungku karena tak sempat menjenguknya, terlebih telat menghadiri upacara
pemakaman terakhirnya akibat jarak tempuh perjalanan yang cukup jauh. Keluarga
sepakat untuk melanjutkan prosesi tanpa menunggu semua anaknya berkumpul lebih
dulu, makin cepat dimakamkan makin baik, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamaku, Islam.
Ibu merangkulku yang segera histeris di depan
gundukan tanah yang mengubur jasad bapak di dalam sana. Jemariku mencakari
tanah, mencari-cari sesuatu yang hilang dan yang tak mungkin kutemukan kembali. Entahlah, medadak diriku merasa rapuh dan menjelma
menjadi manusia paling lemah tanpanya.
Hubungan kami memang erat, melebihi hubunganku
dengan ibu. Dalam beberapa situasi, ada kalanya aku merasa jadi wasit di
tengah-tengah mereka. Katakanlah, hubungan mereka memang renggang belakangan
itu.
Sejak suami memboyongku ke kota lain, aku dan
bapak tak pernah absen untuk saling telpon sekedar menanyakan kabar. Rasanya
kami bisa saling memahami satu sama lain hanya dengan mengeluarkan kosa kata
yang seperlunya. Biasanya, selain pada Allah, bapak tempatku mengadu atas apapun
masalahku. Dan seperti biasa, selalu ada solusi yang terdengar paling masuk
akal darinya yang paling mungkin bisa kuterapkan. Tak mungkin kudapatkan solusi
macam itu dari ibu. Mereka bertolak belakang. Akhirnya aku bisa memahami
mengapa mereka lebih akur kalau hidup terpisah.
Ibu berusaha meredakan pedihku dengan
sentuhannya. Berkali-kali ibu mengusap bahu dan mencengkeram pundakku dengan
jarinya yang mungil namun kuat, sekuat tekadnya untuk melanjutkan hidup dengan
atau tanpa bapak.
“Masih ada ibu…” Bisiknya pura-pura tegar. “Kalau
kau rapuh, bagaimana dengan yang lain?” Ibu menunjuk ketiga adikku yang turut banjir air mata dengan lirikan matanya yang
lelah.
Baiklah, ‘Masih ada ibu.’
Dan ibu memang benar-benar perkasa menjalani
fungsinya sebagai orangtua tunggal, terutama bagi ketiga adikku. Bahkan
menurutku perannya dalam menjaga adik-adikku terlalu berlebihan. “Bu, itu
namanya bukan sayang. Tapi memanjakan.” Protesku suatu ketika. Aku tidak suka
ibu selalu menuruti apapun yang diminta anaknya, meskipun itu diluar
kemampuannya. Ibu berjuang keras demi memenuhi kebutuhan mereka hingga
mengabaikan kesehatannya sendiri.
Awalnya ibu sering mengeluh nyeri setiap kali
buang air kecil, “Seperti disilet,” ujarnya sambil meringis. “Kata dokter batu
ginjal…” katanya tanpa menimbulkan kecurigaan dariku lebih lanjut. Namun ibu
tak kunjung sembuh biarpun sudah berapa puluh kali menelan berbagai obat yang
berhubungan dengan batu ginjal, entah berdasarkan resep dokter maupun yang
tidak. Semakin lama ia semakin sering mengeluhkan sakit yang sama. Sampai suatu
ketika ibu menelponku, “Ibu kena kanker…” namun tak terdengar nada khawatir
dalam suaranya yang membuat jantungku ciut. Suaranya terdengar tetap keras,
setegar batu karang.
Aku marah-marah padanya ketika uang yang
seharusnya digunakan untuk operasi justru digunakan untuk membayar kuliah
adik-adikku dulu. Apa-apaan sih? Kesehatan itu nomor satu ! Tapi ibu tak
bergeming. “Sudahlah, ibu gak apa-apa. Nanti kalau semuanya sudah beres –
maksudnya urusan kuliah adik-adik- ibu
akan lanjutkan pengobatan.” Ujarnya santai, benar-benar santai… Seolah yang
dihadapinya itu cuma pilek.
Dan semuanya berlalu begitu cepat…
Selang dua minggu setelah ulang tahun ibu yang
ke-55 tahun, tepatnya pada tanggal 19 Desember 2014 lagi-lagi aku ditampar
kenyataan pahit, sepahit empedu... Kanker kandung kemih sialan itu merenggut
satu-satunya orangtua kandung kami yang tersisa, ibuku meninggal.
“Tolong jaga adik-adik… ” masih terngiang jelas
kata-kata itu ketika kami duduk berdua di sebuah ruang perawatan rumah sakit sebelum
dia menjalani operasinya yang terakhir.
“Mereka laki-laki, calon kepala keluarga.
Mereka harus punya kail untuk mencari ikannya sendiri kelak.” Ibu meraih satu
tanganku, meminta dukungan. “Kuliah…” Ia menggenggam tanganku. “Mereka harus
selesai kuliahnya. Kamu yang perempuan saja kuliah, masa mereka nggak?” Ibu
menatapku penuh tekad, matanya mencari-cari jawab yang tergantung di udara. Kemudian
ia tersenyum, “Ibu akan sembuh…” ujarnya datar seraya melemparkan pandangan ke
arah lain, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri dan tak ada diriku disana.
Ia tak mampu menatap mataku…
“Ibu belum mau mati. Ibu masih ingin mengurusi
adik-adik !” Tegasnya lagi yang seketika membuat hatiku bergetar hebat.
Ibu bukannya tidak tahu kalau ia tengah
menghadapi kanker stadium lanjut. Sebenarnya sudah terlambat untuk operasi. Pendarahan
hebat sempat melanda saat operasi besar pertamanya yang berlangsung sejak jam 8 pagi hingga jam 6 sore
sekitar bulan April 2014 lalu di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Namun mukjizat
Allah datang melalui keahlian dokter specialis onkologi terbaik se- Asia
Tenggara - info ini kuperoleh dari dokter spesialis yang sebelumnya menangani
ibu juga - yang memimpin jalannya operasi. Ibu berhasil melewati masa kritis itu
dan keluar dari jebakan maut pertamanya.
“Ibu luar biasa…” Puji dokter dengan tatapan
tulus memandangi ibuku yang terkulai lemah. Menurut penuturannya pada kakakku,
biasanya pasien dengan kondisi seperti ibu – kanker memasuki stadium akhir - hanya
mampu bertahan sampai operasi yang ketiga. Tapi ibu bisa enam kali menjalaninya
penuh semangat. “Sembuh atau tidaknya kan tergantung dari motivasi pasien
sendiri.” Si dokter menolak kalau keberhasilan semua operasi yang dapat memperpanjang
kesempatan hidup ibu itu karena keahliannya.”Ibunya yang hebat, kok…” sekali
lagi ia merendah.
Yah, ibu
bertahan karena ia selalu menggenggam harapannya yang agung, menyelesaikan
kuliah anak-anak demi bekal masa depan mereka selanjutnya.
“Ibu masih ingin mengurusi adik-adik…” erangnya
terakhir kali sambil meronta-ronta menolak operasi yang harus dilakukan lagi untuk
ke-7 kalinya akibat tumor ganas (kanker)
kembali menyumbati saluran kencingnya hingga tubuhnya membengkak disana sini.
Lalu ibu terisak ketika kuraih tubuh lemahnya dalam pelukanku, seraya bibirku
mengalirkan beribu doa untuknya dengan nada bergetar.
Itulah air mata yang untuk pertama kalinya
kulihat selama ia menjalani semua proses pengobatannya. Itulah kali pertama jemariku
mengusapi pipinya - yang nyaris tinggal tulang - yang sembab air mata. Itulah
pertama kalinya ikatan emosi kami tersimpul kian erat. Betapa indah kurasakan
pelukan itu. Aku tak pernah bisa melupakannya. Aku masih merasakannya dan terus
membuatku merindu. Bahkan tak pernah kusangka, merindunya bisa terasa seperih
ini…
Aku baru tiga kali melihatnya menangis seumur
hidupku. Pertama, pertengkaran hebat dengan ibunya bapakku, kedua pada saat
pertengkaran hebat dengan bapak. Dan yang terakhir, sekarang, dengan
penyakitnya sendiri…
Tapi kemudian aku sadar, dia bukan sedang
menangisi penyakitnya… Ibu marah sekaligus kesal, ia tak pernah menyerah tapi
mengapa ia harus kalah? Kanker itu menghancurkan asanya berkeping-keping. Ia
harus menelan kenyataan pahit, waktunya hampir habis. Ia gagal memenuhi
janjinya, menuntaskan pendidikan ketiga anaknya, adik-adikku.
Bibirku masih bisa merasakan kecupan terakhirku
di keningnya yang sedingin es. Kubendung air mataku agar tidak tumpah saat
momen yang akan kukenang seumur hidup itu tengah berlangsung. Aku tak ingin
menyakitinya dengan tetesan air mataku di kulitnya yang pucat. Kukecup perlahan
kelopak matanya yang tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya…
Mataku nanar memandangi dua nisan yang
bertuliskan nama bapak dan ibu.
Inilah akhirnya, mereka bersanding damai dan
tak akan pernah tercerai berai lagi selamanya di peristirahatan mereka yang
terakhir.
Dua orang yang kucintai, yang tak sempat
kubahagiakan pada masa hidupnya. ..
Dua orang yang meninggalkan seribu satu cerita
yang tak kunjung usai…
Entahlah, aku tak peduli pada cerita hidup
mereka. Yang kupedulikan hanyalah mereka orangtuaku. Tugasku hanyalah
mencintainya dalam setiap doaku. Mungkin tak akan ada orangtua yang ideal, tapi
MAAF dan DOA pasti dapat menyempurnakannya.
..........
Ya Allah, berikanlah tempat yang terbaik bagi
mereka dan ampunilah dosa-dosanya.
Ya Allah, berikanlah ketegaran pada kami
untuk terus melanjutkan hidup di jalan yang benar.
Ya Allah, berikanlah kesabaran dan keikhlasan pada kami dalam menghadapi semua perubahan yang terjadi sejak ketiadaan mereka.
Ya Allah, bukalah seluas-luasnya pintu rejeki-Mu bagi para yatim piatu yang ditinggalkan.
..........
Don’t worry Mom… Everythings gonna be ok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar