Jumat, 06 Februari 2015

Galau Pasti Berlalu



Sering sih mendengar kalau rindu itu perih, tapi aku gak pernah nyangka kalau bisa sampai seperih ini. Rindu itu obatnya ketemu, atau pasrahkan saja pada sang waktu. Hahaha menyedihkan.
Jadi inget penggalan lagu bang Haji Rhoma Irama , “Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga…”. Tepat. Persis seperti yang kurasakan.
Bapak meninggalkan aku selama-lamanya pada tanggal 6 November 2013 tanpa permisi akibat serangan stroke yang tiba-tiba dan dalam waktu 1x24 jam segera mengantarkannya ke dunia lain. Penyesalan menghujam jantungku karena tak sempat menjenguknya, terlebih telat menghadiri upacara pemakaman terakhirnya akibat jarak tempuh perjalanan yang cukup jauh. Keluarga sepakat untuk melanjutkan prosesi tanpa menunggu semua anaknya berkumpul lebih dulu, makin cepat dimakamkan makin baik, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agamaku, Islam.
Ibu merangkulku yang segera histeris di depan gundukan tanah yang mengubur jasad bapak di dalam sana. Jemariku mencakari tanah, mencari-cari sesuatu yang hilang dan yang tak  mungkin kutemukan kembali. Entahlah,  medadak diriku merasa rapuh dan menjelma menjadi manusia paling lemah tanpanya.
Hubungan kami memang erat, melebihi hubunganku dengan ibu. Dalam beberapa situasi, ada kalanya aku merasa jadi wasit di tengah-tengah mereka. Katakanlah, hubungan mereka memang renggang belakangan itu.
Sejak suami memboyongku ke kota lain, aku dan bapak tak pernah absen untuk saling telpon sekedar menanyakan kabar. Rasanya kami bisa saling memahami satu sama lain hanya dengan mengeluarkan kosa kata yang seperlunya. Biasanya, selain pada Allah, bapak tempatku mengadu atas apapun masalahku. Dan seperti biasa, selalu ada solusi yang terdengar paling masuk akal darinya yang paling mungkin bisa kuterapkan. Tak mungkin kudapatkan solusi macam itu dari ibu. Mereka bertolak belakang. Akhirnya aku bisa memahami mengapa mereka lebih akur kalau hidup terpisah.
Ibu berusaha meredakan pedihku dengan sentuhannya. Berkali-kali ibu mengusap bahu dan mencengkeram pundakku dengan jarinya yang mungil namun kuat, sekuat tekadnya untuk melanjutkan hidup dengan atau tanpa bapak.
“Masih ada ibu…” Bisiknya pura-pura tegar. “Kalau kau rapuh, bagaimana dengan yang lain?” Ibu menunjuk ketiga adikku yang turut  banjir air mata dengan lirikan matanya yang lelah.
Baiklah, ‘Masih ada ibu.’
Dan ibu memang benar-benar perkasa menjalani fungsinya sebagai orangtua tunggal, terutama bagi ketiga adikku. Bahkan menurutku perannya dalam menjaga adik-adikku terlalu berlebihan. “Bu, itu namanya bukan sayang. Tapi memanjakan.” Protesku suatu ketika. Aku tidak suka ibu selalu menuruti apapun yang diminta anaknya, meskipun itu diluar kemampuannya. Ibu berjuang keras demi memenuhi kebutuhan mereka hingga mengabaikan kesehatannya sendiri.
Awalnya ibu sering mengeluh nyeri setiap kali buang air kecil, “Seperti disilet,” ujarnya sambil meringis. “Kata dokter batu ginjal…” katanya tanpa menimbulkan kecurigaan dariku lebih lanjut. Namun ibu tak kunjung sembuh biarpun sudah berapa puluh kali menelan berbagai obat yang berhubungan dengan batu ginjal, entah berdasarkan resep dokter maupun yang tidak. Semakin lama ia semakin sering mengeluhkan sakit yang sama. Sampai suatu ketika ibu menelponku, “Ibu kena kanker…” namun tak terdengar nada khawatir dalam suaranya yang membuat jantungku ciut. Suaranya terdengar tetap keras, setegar batu karang.
Aku marah-marah padanya ketika uang yang seharusnya digunakan untuk operasi justru digunakan untuk membayar kuliah adik-adikku dulu. Apa-apaan sih? Kesehatan itu nomor satu ! Tapi ibu tak bergeming. “Sudahlah, ibu gak apa-apa. Nanti kalau semuanya sudah beres – maksudnya urusan kuliah adik-adik-  ibu akan lanjutkan pengobatan.” Ujarnya santai, benar-benar santai… Seolah yang dihadapinya itu cuma pilek.
Dan semuanya berlalu begitu cepat…
Selang dua minggu setelah ulang tahun ibu yang ke-55 tahun, tepatnya pada tanggal 19 Desember 2014 lagi-lagi aku ditampar kenyataan pahit, sepahit empedu... Kanker kandung kemih sialan itu merenggut satu-satunya orangtua kandung kami yang tersisa, ibuku meninggal.
“Tolong jaga adik-adik… ” masih terngiang jelas kata-kata itu ketika kami duduk berdua di sebuah ruang perawatan rumah sakit sebelum dia menjalani operasinya yang terakhir.
“Mereka laki-laki, calon kepala keluarga. Mereka harus punya kail untuk mencari ikannya sendiri kelak.” Ibu meraih satu tanganku, meminta dukungan. “Kuliah…” Ia menggenggam tanganku. “Mereka harus selesai kuliahnya. Kamu yang perempuan saja kuliah, masa mereka nggak?” Ibu menatapku penuh tekad, matanya mencari-cari jawab yang tergantung di udara. Kemudian ia tersenyum, “Ibu akan sembuh…” ujarnya datar seraya melemparkan pandangan ke arah lain, seolah sedang bicara pada dirinya sendiri dan tak ada diriku disana. Ia tak mampu menatap mataku…
“Ibu belum mau mati. Ibu masih ingin mengurusi adik-adik !” Tegasnya lagi yang seketika membuat hatiku bergetar hebat.
Ibu bukannya tidak tahu kalau ia tengah menghadapi kanker stadium lanjut. Sebenarnya sudah terlambat untuk operasi. Pendarahan hebat sempat melanda saat operasi besar pertamanya yang  berlangsung sejak jam 8 pagi hingga jam 6 sore sekitar bulan April 2014 lalu di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Namun mukjizat Allah datang melalui keahlian dokter specialis onkologi terbaik se- Asia Tenggara - info ini kuperoleh dari dokter spesialis yang sebelumnya menangani ibu juga - yang memimpin jalannya operasi. Ibu berhasil melewati masa kritis itu dan keluar dari jebakan maut pertamanya.
“Ibu luar biasa…” Puji dokter dengan tatapan tulus memandangi ibuku yang terkulai lemah. Menurut penuturannya pada kakakku, biasanya pasien dengan kondisi seperti ibu – kanker memasuki stadium akhir - hanya mampu bertahan sampai operasi yang ketiga. Tapi ibu bisa enam kali menjalaninya penuh semangat. “Sembuh atau tidaknya kan tergantung dari motivasi pasien sendiri.” Si dokter menolak kalau keberhasilan semua operasi yang dapat memperpanjang kesempatan hidup ibu itu karena keahliannya.”Ibunya yang hebat, kok…” sekali lagi ia merendah.
 Yah, ibu bertahan karena ia selalu menggenggam harapannya yang agung, menyelesaikan kuliah anak-anak demi bekal masa depan mereka selanjutnya.
“Ibu masih ingin mengurusi adik-adik…” erangnya terakhir kali sambil meronta-ronta menolak operasi yang harus dilakukan lagi untuk ke-7 kalinya akibat  tumor ganas (kanker) kembali menyumbati saluran kencingnya hingga tubuhnya membengkak disana sini. Lalu ibu terisak ketika kuraih tubuh lemahnya dalam pelukanku, seraya bibirku mengalirkan beribu doa untuknya dengan nada bergetar.
Itulah air mata yang untuk pertama kalinya kulihat selama ia menjalani semua proses pengobatannya. Itulah kali pertama jemariku mengusapi pipinya - yang nyaris tinggal tulang - yang sembab air mata. Itulah pertama kalinya ikatan emosi kami tersimpul kian erat. Betapa indah kurasakan pelukan itu. Aku tak pernah bisa melupakannya. Aku masih merasakannya dan terus membuatku merindu. Bahkan tak pernah kusangka, merindunya bisa terasa seperih ini…
Aku baru tiga kali melihatnya menangis seumur hidupku. Pertama, pertengkaran hebat dengan ibunya bapakku, kedua pada saat pertengkaran hebat dengan bapak. Dan yang terakhir, sekarang, dengan penyakitnya sendiri…
Tapi kemudian aku sadar, dia bukan sedang menangisi penyakitnya… Ibu marah sekaligus kesal, ia tak pernah menyerah tapi mengapa ia harus kalah? Kanker itu menghancurkan asanya berkeping-keping. Ia harus menelan kenyataan pahit, waktunya hampir habis. Ia gagal memenuhi janjinya, menuntaskan pendidikan ketiga anaknya, adik-adikku.
Bibirku masih bisa merasakan kecupan terakhirku di keningnya yang sedingin es. Kubendung air mataku agar tidak tumpah saat momen yang akan kukenang seumur hidup itu tengah berlangsung. Aku tak ingin menyakitinya dengan tetesan air mataku di kulitnya yang pucat. Kukecup perlahan kelopak matanya yang tertutup dan tak akan pernah terbuka lagi untuk selamanya…
Mataku nanar memandangi dua nisan yang bertuliskan nama bapak dan ibu.
Inilah akhirnya, mereka bersanding damai dan tak akan pernah tercerai berai lagi selamanya di peristirahatan mereka yang terakhir.
Dua orang yang kucintai, yang tak sempat kubahagiakan pada masa hidupnya. ..
Dua orang yang meninggalkan seribu satu cerita yang tak kunjung usai…
Entahlah, aku tak peduli pada cerita hidup mereka. Yang kupedulikan hanyalah mereka orangtuaku. Tugasku hanyalah mencintainya dalam setiap doaku. Mungkin tak akan ada orangtua yang ideal, tapi MAAF dan DOA pasti dapat menyempurnakannya. 

..........
 
Ya Allah, berikanlah tempat yang terbaik bagi mereka dan ampunilah dosa-dosanya. 
Ya Allah, berikanlah ketegaran pada kami untuk terus melanjutkan hidup di jalan yang benar. 
Ya Allah, berikanlah kesabaran dan keikhlasan pada kami dalam menghadapi semua perubahan yang terjadi sejak ketiadaan mereka.
Ya Allah, bukalah seluas-luasnya pintu rejeki-Mu bagi para yatim piatu yang ditinggalkan. 

.......... 

Don’t worry Mom… Everythings gonna be ok.