Selasa, 05 April 2016

Menerbitkan buku secara indie. Bingo!



Bisa menamatkan tulisan yang akhirnya menjelma menjadi sebuah cerita dalam bentuk novel itu menyenangkan. Tapi kesenangan itu mentok ketika pada akhirnya tulisan itu cuma teronggok dalam tumpukan file pribadi aja. Begitulah nasib dari 'Bingo!' novel pertama yang gue tulis sejak memutuskan resign dari pekerjaan. Saat itu menulis gue jadikan hobi untuk mengisi waktu luang aja. Biar gak jenuh sama urusan rumah tangga dan urusan anak-anak yang gak ada habisnya. Ditambah udah gak ada lagi temen ngobrol diskusi yang seru seperti saat gw masih aktif ngantor dulu. Nah, ketika menulis itulah gue ngerasa bisa asyik lagi seperti sedang ngobrol dan menceritakan apa yang ada di kepala gue, bedanya kali ini yang 'dengerin' si laptop :)

Tulisan itu pun akhirnya gue kirimin ke penerbit mayor dan ditolak. Hehehe. Gue beberapa kali mengalami penolakan. Kecewa itu pasti, manusiawilah. Gue juga gak kaget kok sama penolakan mereka. Maklum, menembus penerbit mayor itu kan gak segampang menjetikkan jari. Apalagi untuk penulis pemula yang belum punya nama dan karya sebelumnya seperti gue, hehehe.

Akun media sosial yang kita miliki pun berpengaruh loh terhadap keputusan penerbit untuk menerima naskah kita. Semakin aktif dan semakin banyak folower yang kita miliki di media sosial menambah penilaian mereka dan selama tulisan kita cocok aja sama selera pasar, peluang diterimanya besar. Masalah konten cerita mah bisa dibantu poles kok sama tim penerbit. Sementara akun medsos yang gue punya followernya masih sedang-sedang saja dan gue pun kurang lihai mengaktifkannya. Hahaha.

Gue menyadari kelemahan gue yang mungkin kurang peka sama masalah selera pasar itu. Gue lebih fokus sama apa yang gue tulis. Gue nulis apa yang gue sukai dan pahami. Mungkin karena baru dalam tahap hobi, jadi gue nulis ya baru dalam tahap senang-senang... maksudnya senang-senang di sini belum sampai tahap mikirin secara serius tulisan gue bakal cocok apa nggak sama selera oranglain kebanyakan. Yang penting gue tetap jaga kualitasnya, gak cuma asal nulis gitu aja. Novel kan bisa juga sebagai alat untuk menyampaikan opini kita terhadap sesuatu. Juga bisa menjadi alat penyampaian sebuah pesan bagi pembacanya. Nah, dalam novel ini gue membawa tema tentang dunia perencanaan keuangan yang belum banyak diangkat dalam novel lain pada umumnya. Betapa uang sangat erat kaitannya dengan kehidupan dan kenyamanan dalam sebuah hubungan percintaan. Bagaimana kita melihat uang sebagai alat untuk mencapai kenyamanan, bukan justru menjadikannya tujuan yang malah pada akhirnya akan menghilangkan kenyamanan hidup kita, bahkan parahnya justru menghancurkan impian sejati kita. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya akan sulit kalau tak ada uang. Semua itu kembali pada bagaimana kita mengatur prioritas kehidupan dan keuangan kita. *wink

Gue sempat gak pede dan down ketika ngalamin beberapa kali penolakan dari penerbit mayor. Meskipun gue tau kalo yang gue alami ini gak ada apa-apanya dibanding yg udah dialami penulis besar lainnya yang ditolak puluhan kali sebelum akhirnya karya mereka meledak jadi mega bestseller di berbagai penjuru dunia. Tapi perasaan sedih itu pasti muncul, semua penulis pasti merasakannya ketika terjadi penolakan untuk ke sekian kali. Iya kan? Ah. Sudahlah! Namanya juga usaha :)

Yep. Menerbitkan buku melalui penerbit mayor itu butuh kesabaran super dan waktu yang panjang, umumnya bukan cuma bulanan, melainkan tahunan. Jujur aja, melelahkan. Dudududu. Sampai akhirnya gue mempertimbangkan pilihan lain untuk menerbitkan buku secara indie. Gue pun gak sengaja membaca di sini mengenai proses penerbitan buku secara indie yang gratis, mudah, dan cepat. Tambah semangat lagi setelah membaca ini. Tentunya banyak alternatif penerbit lain yang menawarkan jasa menerbitkan buku secara indie. Googling aja dengan keyword menerbitkan buku secara indie, pasti langsung berentetetan info yang muncul. *Iyalah sudah tahu kaleeee

Alternatif menerbitkan buku secara indie ini pastilah ada plus minusnya. Setidaknya, bisa jadi batu loncatan buat penulis pemula. Namun pilihan menerbitkan buku secara indie, tetap kudu diiringi dengan usaha serius menjaga kualitas tulisan, loh. Bukan cuma untuk sekedar terbit aja. Selanjutnya pun tetap semangat dan mencoba terus bersaing menembus penerbit mayor :)

Nah, terakhir saatnya gue buat promosi. hehehehe. #halah

Novel 'Bingo!' bisa kalian dapatkan dengan membeli via online melalui :

Pemesanan via WhatsApp 081290461162 atau SMS 081287602508 Guepedia dengan format pemesanan  Nama#Alamat#BINGO!#Jumlah Buku

Tokopedia https://www.tokopedia.com/guepedia/bingo?n=1

Bukalapak https://www.bukalapak.com/p/buku/novel/18zxfl-jual-buku-bingo

Elevenia http://www.elevenia.co.id/prd-bingo-11784825

Jualo.com
 https://www.jualo.com/jakarta/jakarta/buku-novel-dan-komik/bingo-novel?s=tezmv5_imleo4t5

olx.co.id
http://olx.co.id/iklan/bingo-novel-remaja-IDhD6PG.html

Dinomarket.com http://www.dinomarket.com/PASARDINO/93625908/Jual-Bingo-/

Popazop.com http://www.popazop.com/merchant/products/preview/bingo

Hargabukuonline.com  http://hargabukuonline.com/details.php?id=716

Guepedia.com http://store.guepedia.com/product/bingo/

Kaskus.co.id
http://fjb.kaskus.co.id/product/5701d5cf642eb623708b4570/bingo/?state=created

Fjb.net http://forumjualbeli.net/usernote.php?do=viewuser&u=23877

Indonesiindonesia.com
http://indonesiaindonesia.com/newthread.php?do=postthread&f=52

Google PlayStore : Dalam proses verifikasi  

Rabu, 23 Maret 2016

Belajar dari 'Bebek Nungging'



Saya sebenarnya tidak ambil pusing dengan kasus Zaskia Gotik yang tengah dilaporkan menghina Pancasila, akibat jawaban ‘bebek nungging’ yang ditulisnya atas pertanyaan ‘Apa lambang sila kelima Pancasila?’ Sepertinya dia memang tidak sengaja melakukannya, spontanitas. Tak disangka yang terjadi selanjutnya pun di luar prediksinya. Begitulah manusia. Tempatnya salah dan khilaf. Untuk itu kenapa kita sebagai sesama harus saling mengingatkan, menegur kekhilafan satu sama lain agar tidak terus-terusan jadi orang yang salah.

Tidak bermaksud membahas Zaskia Gotik secara pribadi, hanya saja ada yang menggelitik dari pernyataannya kalau dia cuma lulusan SD dan ‘gak tau’ tentang Pancasila. Hmm. Bukankah kita mendapat materi tentang Pancasila sejak SD? Bahkan jaman dulu (termasuk angkatan Zaskia Gotik), Pancasila itu gencar sekali diajarkan. Sila-sila Pancasila pun selalu lantang diteriakkan minimal seminggu sekali setiap hari Senin bertepatan dengan upacara bendera. Soal PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang selanjutnya berubah menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) selalu rajin menanyakan tentang Pancasila sampai kepada pasal serta butir-butir UUD 45-nya. Bahkan ketika kelas 5, saya masih ingat pernah diwajibkan menggambar Pancasila dalam kertas kartun besar. Tentu saja harus dengan gambar yang tepat, jangankan lambang masing-masing sila, berapa jumlah bulu dalam sayap dan lehernya segala harus dihitung, kok. Ke arah mana kepala burung menengok pun tidak boleh salah. Saya rasa pelajaran itu tidak cuma berlaku di SD Negeri tempat saya belajar saja kan? Hehehe.Di SD si Neng pastilah diajarkan juga... 

Sekolah Dasar itu kan mempelajari tentang ilmu dan pengetahuan yang dasar dan pada dasarnya pun kita harus tahu, meskipun kadang lupa… bukannya benar-benar ‘gak tau’! 

Nah. Jawaban ‘gak tau’ si Neng ini membuat saya tertawa geli. Gak tahu? Saya lebih suka kalau dia bilang lupa! Artinya dia pernah tahu, hanya saja sedang atau sudah tidak ingat. Setidaknya, itu tidak benar-benar membuatnya tampak benar-benar ‘kosong’. Beneran deh. Saya masih berharap kalau dia lupa saja, bukannya ‘gak tau’. Kalau sampai dia beneran 'gak tahu', artinya ada yang salah sama proses belajarnya dulu. 
Kita bisa memetik hikmahnya dari kasus si Neng. Bagaimanapun belajar adalah tentang sebuah proses. Belajar bukan sekedar menghafal atau mempelajari sesuatu saja demi mendapat nilai, lalu setelah itu lupa. Belajar juga tentang sikap. Belajar perlu ketulusan, keseriusan, serta usaha sungguh-sungguh yang disertai dengan niat. 

Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk memojokkan si Neng. Semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Semoga kasus 'bebek nungging' ini bisa memberi kita hikmah agar lebih serius lagi saat belajar, entah saat di sekolah atau di mana pun. Karena, tak ada ilmu yang tak bermanfaat. Pengetahuan sekecil apapun bisa saja menyelamatkan kita dari sebuah petaka. Begitulah pentingnya keseriusan dalam belajar. Ingat Iqra yang menjadi ayat pertama yang diturunkan Allah, SWT? 'Bacalah!' Membaca itu bisa berarti banyak hal yang pada akhirnya menuntut kita untuk belajar dan berpikir. Membaca tentang ilmu, membaca situasi dan kondisi, mempelajari segala asumsi, dan memetik hikmah (pembelajaran). Ilmu yang berguna tentunya akan berdampak pada kebaikan, untuk diri kita pribadi dan orang lain.